Seorang ibu yang menggendong balita, batal membeli 1 kilogram daging ayam di sebuah pasar tradisional di area selatan Bekasi. Dia turunkan berat ayam yang ingin dibeli menjadi 1/2 kilogram saja.
Gantinya, dia membeli buah oyong, sawi hijau, dan daun bawang. Rupanya, si ibu tersebut adalah istri dari penjual mie ayam, yang biasa mendorong gerobaknya, menjajakan masakannya itu di kawasan sekolah di Jatiluhur dan perumahan sekitarnya. "Harga mie ayam tidak boleh naik, tapi ayam yang ditabur di atas mie tidak boleh berkurang, dan yang pasti, rasa tidak boleh berubah," ujar si ibu.
Dialah yang meracik bumbu ayam tabur, sebagai topping mie ayam pada umumnya. Itu baru dari sisi ayam dan bumbunya, yang dia coba akali supaya kuantitasnya tidak berkurang meski kualitasnya jadi turun. Karena topping mie yang biasanya 100 persen ayam semua, kini menjadi 50-60 persen ayam yang didampingi buah oyong.
Sebab menurutnya, tekstur buah oyong cocok untuk mengakali kenyalnya kulit ayam serta bagian daging dengan tekstur yang tidak terlalu berserat, seperti di bagian sayap dan paha. Ketika sudah menyatu dengan bumbu racikannya, konsumen pun tidak terlalu hirau bahwa topping ayam tersebut terdapat potongan buah oyong. "Pokoknya rasa mie ayam ngga boleh berubah," katanya.
Begitulah sepenggal kisah dari salah satu pedagang yang menerapkan trik jualannya, dengan maksud demi tetap mendapat konsumen dan tidak mengubah rasa.
Sebenarnya, nasib si ibu dan suaminya itu bisa dibilang diujung tanduk. Apa sebab? Tak lain, lantaran mereka adalah bagian dari konsekuensi kenaikan harga pangan. Bayangkan bila beberapa bulan kemudian terjadi kenaikan harga sawi, daun bawang, atau buah oyong, boleh dipastikan si ibu dan suaminya gulung tikar. Bagaimana tidak? Sekarang saja mereka sudah mengurangi tumpuan utama mie ayam, yaitu daging ayam yang biasa 1 kilogram jadi setengahnya.
![]() |
| Foto: Wikimedia |
Alumni HA IPB Kota Bekasi yang akrab disapa Joe Bokeh mengatakan, penurunan daya beli masyarakat bisa menyebabkan peningkatan resiko krisis pangan terutama bagi kelompok rentan. Dan itu sudah muncul gejalanya, seperti pada kisah di atas. Lalu apa solusinya?
Joe memberi ide solusi Pertanian Cerdas Iklim atau yang juga dikenal juga dengan Climate Smart Agriculture (CSA). Ide itu untuk menjawab tantangan perubahan iklim global, yang mengakibatkan penurunan produksi akibat pola hujan yang semakin tidak menentu dan perubahan suhu yang ekstrem. Akibat selanjutnya dari masalah iklim global adalah peningkatan serangan Organisma Penganggu Tanaman (OPT) serta gangguan rantai pasok akibat bencana alam dan hidrometeorologi.
Bila terjadi serangan OPT pada tanaman bawang, maka dampak langsung pada duet tukang mie ayam tersebut, tak lain adalah kenaikan harga daun bawang sebagai bumbu primer mie ayam. Si ibu dan suaminya itu terpaksa menjajakan mie ayam tanpa daun bawang dan menghasilkan hidangan yang rasanya tidak seperti biasanya. Pelanggan pun berkurang dan mereka akhirnya bangkrut.
Maka Joe Bokeh menyarankan pendekatan CSA yang bertujuan untuk meningkatkan produktivitas, meningkatkan ketahanan terhadap dampak iklim dan mengurangi emisi gas rumah kaca. Pendekatan itu menurutnya menggabungkan antara praktek dan teknologi yang disesuaikan dengan perubahan iklim dengan tetap memastikan tercapainya program ketahanan pangan sekaligus meminimalkan dampak terhadap lingkungan.
Metode CSA tersebut selain bisa menghindari potensi kemiskinan masyarakat --seperti kisah tukang mie ayam tadi, juga akan membantu petani. Sebab, CSA mengandung panduan tindakan yang diperlukan, untuk mengubah dan mengarahkan sistem pertanian agar secara efektif, memastikan ketahanan pangan dalam kondisi iklim yang berubah. Efek positif lain dari CSA, menurut Joe, juga bisa mengurangi dan mengeliminasi emisi gas rumah kaca dari sektor pertanian.
Adapun paket teknologi dalam pertanian cerdas iklim meliputi:
1) Penggunaan benih dari varietas unggul yang berproduksi tinggi dan tahan terhadap cekaman serta beremisi rendah. Benih yang cerdas iklim akan efektif dalam pemanfaatan air dan mampu menghemat penggunaan pupuk hingga 30 %,
2) Penerapan teknologi hemat air melalui sistem irigasi intermitten (macak-macak) atau Alternate Wet and Drying (AWD),
3) Pemupukan yang berimbang melalui penggunaan Perangkat Uji Tanah Sawah/Rawa (PUTS/PUTR),
4) Penggunaan bahan organik untuk membuat pupuk organik,
5) Penanaman dengan sistem jajar-legowo dengan menggunakan bibit usia muda dan penggunaan rata-rata 2-3 bibit/lubang,
6) Penerapan pengendalian OPT secara terpadu dan mempriotaskan penggunaan pestisida nabati,
7) Penggunaan kalender tanam untuk penentuan waktu tanam, dan
8) Pengukuran gas emisi Gas Rumah Kaca (GRK).
Dengan pemahaman yang baik dan mumpuni dari petani kita tentang perubahan iklim dan antisipasi dan mitigasinya, petani diharapkan akan mampu untuk mampu tetap berproduksi dengan baik walaupun dalam kodisi iklim yang semakin tidak menentu sekaligus melakukan upaya upaya adaptasi dan mitigasi.
Kemampuan untuk meningkatan produksi padi di era perubahan iklim global akan mampu mempercepat tercapainya swasembada pangan dan memperkuat ketahanan pangan kita serta meningkatkan pendapatan petani.









0 Comments