Isu lingkungan dan alam adalah hal yang nyaris setiap hari dicermati saat kuliah dulu. Tapi bagi saya, sebagai alumni IPB University, bahkan isu tersebut harus tetap diikuti ketika sudah masuk dunia kerja.
Bukan apa-apa, sebab banyak sekali alumni IPB yang sudah tidak lagi mencermati isu alam lantaran pekerjaan mereka, --yang sudah tidak lagi relevan dengan ilmu yang mereka tuntut selama kuliah.
Namun bagi saya, tetap saja isu lingkungan hidup menjadi hal yang harus dicermati setiap hari lantaran pekerjaan saya sebagai wartawan bidang lingkungan, penulis dan blogger untuk isu alam bebas.
Langsung saja. Sebenarnya, dari fakta-fakta yang beredar secara gambling di publik, kita bisa membuat langkah strategis seperti catur terhadap isu lingkungan baru-baru ini. Mari simak bersama fakta yang terjadi.
- Presiden Prabowo secara terang-terangan berpihak pada perluasan perkebunan kelapa sawit dan menyatakan bahwa kelapa sawit “adalah pohon… mereka berdaun,” seperti dikutip dari Mongabay. Sebuah pernyataan yang akhirnya dikritik keras oleh para aktivis lingkungan dan akademisi, karena dianggap berbahaya secara ilmiah dan kebijakan.
- Video viral di YouTube yang menunjukkan Menteri Kehutanan (Menhut), Raja Juli Antoni, tampaknya sedang bermain kartu dengan orang-orang yang terkait dengan kepentingan kehutanan. Tayangan tersebut memicu pertanyaan tentang konflik kepentingan dan keputusan di balik kebijakan kehutanan.
- Unjuk rasa besar-besaran para pemuda bulan Agustus–September 2025 beserta kerusuhan meluas, menghasilkan serangkaian tuntutan “17+8” yang dipimpin oleh aktivis muda Salsa Erwina. Tapi tuntutan itu agaknya tidak ada tindak lanjut —sulit untuk segera dikonversi menjadi kebijakan yang memenangkan rakyat.
- Berita tentang “bandara ilegal” Morowali yang dilaporkan banyak media massa menjadi kabar kontroversi politik berantai, yang mengganggu (Tempo).
- Kayu gelondongan besar yang memperburuk banjir di Sumatra dan Aceh, di mana pihak berwenang sedang menyelidiki apakah penebangan liar, pembukaan lahan untuk perkebunan, atau pertambangan berkontribusi atas banjir itu. Antara melaporkan bahwa bencana alam tersebut memperkuat kecurigaan publik.
Dari lima fakta telanjang tersebut, maka bila masing-masing kita jadikan sebagai simbol bidak catur, maka jadinya adalah:
- Ungkapan Presiden Prabowo menjadi seperti bidak berat di tengah (apakah raja atau benteng). Dia akan menentukan arah publik, mengeluarkan arahan pembangunan. Hal baiknya yakni, langkah Prabowo bisa saja menghasilkan pertumbuhan, mengamankan industri strategis, dan melindungi pendukung politik. Tapi risikonya, berdampak negatif ekologis dan kredibilitasnya. Klaim Prabowo bahwa "sawit adalah pohon", seolah mengelak dari tudingan kritik internasional bahwa sawit juga sebenarnya adalah bagian dari penghijauan, tapi di balik itu ada sektor yang sedang dibela. Ini semacam retorika yang malah menunjukkan kelemahan moral atas kepedulian lingkungan.
- Menhut diibaratkan bidak perdana menteri, sebagai aset yang bernilai tinggi dalam permainan catur. Tapi dia sedang dikompromikan, lantaran kedapatan main kartu dengan tokoh industri, sehingga bisa melemahkan otoritas moral dan menciptakan pengaruh bagi lawan. Sebab, hal itu bisa mengurangi kepercayaan publik dan membuat penasaran pihak tertentu. Tidak ada yang tahu, apakah yang dilakukan menteri dan mantan tersangka kasus pembalakan liar itu sebagai kompromi politik atau upaya Menhut 'menjinakkan'gerombolan pembalak hutan liar lainnya.
- Perusahaan tambang, diibaratkan sebagai kuda ksatria atau bahkan bisa juga bidak peluncur, yang saat ini disinyalir memiliki pengaruh dari sisi keuangan, kemampuan lobi politik, dan memengaruhi hukum.
- Gerakan muda Salsa Erwina, Ferry Irwandi, dkk diibaratkan sebagai pion yang dapat memberi kejutan. Jika terkoordinasi, maka kemajuan pion dapat menjadi ratu (kepemimpinan naratif, protes berkelanjutan, tindakan hukum).
- Campur tangan alam, sebagai kartu liar yang tak terduga. Banjir dan laporan yang terlihat adalah aliran bukti publik, yang dapat tiba-tiba mengubah opini publik dan membuat penegakan hukum menjadi penting secara politis. Banyak yang bilang, Tuhan sedang mencoba mengungkapkan sebuah fakta di balik pengelolaan tata ruang dan lingkungan di Indonesia. Tapi kesimpulan dari fakta tersebut, masih harus ditelusuri lagi lebih jauh dan hanya manusia yang mau mengubah nasib menjadi lebih baik yang bisa mengungkap secara riil fakta tersebut.
- Tak lupa, DPR sebagai pengendali kapasitas koersif dan daya ungkit hukum (penahanan, penuntutan, tanggapan legislatif).
Tapi yang menurut saya bukan mainstream atau yang 'agak laen' dari fakta di atas, adalah soal isu peresmian bandara di Morowali, yang diduga dihembuskan untuk menutupi isu besar (salah satunya isu lingkungan yang menurut masyarakat sedang dibongkar oleh Tuhan melalui bencana alam itu).
Dari pada meributkan bahwa isu bandara Morowali adalah pengalihan isu, saya lebih suka membuatnya jadi begini:
Saya akan buat begini, "Bagaimana sih perizinan kehutanan dan izin penebangan? Semuanya harus diperiksa dengan standar yang sama dong? Jangan sampai soal hutan ini ibarat isu Morowali-nya kehutanan"
- Jika masalah Morowali adalah kecurigaan pada infrastruktur ilegal, tuntut juga dong audit penggunaan lahan hutan ilegal.
- Jika Morowali adalah tentang favoritisme elit, ya bikin juga dong peta tentang elit penerima manfaat dari deforestasi.
- Jika ada kecurigaan penyalahgunaan wewenang di Morowali, maka di mana otoritas berwenang menandatangani konversi hutan?











0 Comments