Tugas Yanto di kafe selalu dimulai dengan aktivitas yang tak ubah: mengelap meja, merapikan peralatan makan, dan satu lagi, melirik lapangan padel kaca di seberang sekat kaca.
Aktivitas terakhirnya, melirik lapangan padel dari kaca resto tempat dia bekerja, memang baru-baru ini dia lakukan sebab lapangan padel itu dulunya hanya sebuah area bekas kantor yang lama kosong.
Kini area kantor itu sudah disulap menjadi 2 lapangan padel bersanding, yang menjadi bagian dari cafe tempat bekerjanya. Sehingga di saat bermain atau usai bertanding, para pemain bisa jajan di cafe.
Kembali ke Yanto, ia tak pernah berniat berlama-lama menatap aktivitas olahraga dari kaca resto itu, tetapi tampak sekali tempat itu seperti menjadi gravitasi pandangan baginya.
Lampu-lampu terang menyorot lapangan, dinding-dinding bersih, suara bola bergema dengan presisi, belum pernah didengarnya dari aktivitas olahraga di lingkungannya.
Maklum, Yanto kecil dan remaja dulu tinggal di desa pesisir yang olahraganya bermain bola, bulu tangkis, dan voli.
Tapi jangan salah, Yanto terkenal sebagai pebulu tangkis cukup handal di desa tempatnya tinggal di kawasan Maluku Tenggara. Kegesitannya membuat dia selalu memenangi permainan bulu tangkis level desa.
Kembali ke lapangan padel yang ia amati, Yanto memperhatikan para pemain datang dan pergi. Yang datang, tidak terburu-buru, tidak berkeringat karena macet, hanya berhamburan masuk.
Datang dengan kemeja linen, berganti menjadi celana pendek yang dirancang khusus. Tampak juga mereka menyemprot parfum yang sepertinya bukan dibeli dari supermarket.
Mereka saling menyapa seperti teman lama yang tak perlu membuktikan apa pun.
Rupanya, padel bukan sekadar pertandingan bagi mereka. Menurut Yanto, lapangan itu malah seperti sebuah arena status —sebuah pengingat bahwa hidup mereka telah mencapai titik tertentu yang mulus.
Kafe jadi ramai ketika pertandingan dimulai. Orang-orang memesan air soda yang tak mereka habiskan, salad yang nyaris tak mereka sentuh, sambil mengangguk ke arah lapangan seolah-olah pertandingan itu adalah bagian dari percakapan panjang yang mereka semua pahami.
Yanto suka mengoleksi momen. Pria yang meletakkan kacamata hitam vintage-nya di samping secangkir cappuccino. Wanita berbalut pakaian olahraga krem tertawa seolah menguasai hari itu. Pelatih yang menyesuaikan pegangan pemain dengan santainya.
Mereka di mata Yanto adalah sekumpulan orang yang mengharapkan kualitas secara otomatis.
Suatu sore, di sela-sela membersihkan meja, Yanto melihat bayangannya sendiri di lapangan kaca. Hanya bayangan kabur di balik dunia yang terasa dijahit oleh kemudahan dan niat. Ia tidak merasa bersalah karenanya.
Malah, jarak membuat pemandangan itu terasa lebih indah.
Dan selama ia bekerja shift itu, ia tahu ia akan terus mengamati — bukan karena ia ingin menjadi salah satu dari mereka, tetapi karena menyaksikan ritual itu membuat hari terasa lebih menantang, seperti melangkah ke ruangan yang semuanya serba sempurna.
Impian Yanto untuk bisa bermain padel membuatnya meningkatkan manajemen hidupnya: bekerja lembur demi bonus dan juga mengejar layanan tambahan.
Akhirnya, upaya menambah penghasilannya itu berhasil terkumpul untuk membayar sewa padel dan pelatihnya, hanya untuk satu jam.
Ia kemudian bermain padel bersama pelatihnya dengan mengesankan bak seorang profesional, karena Yanto memang pemain bulu tangkis yang handal sejak kecil.
Setelah sesi satu jam berharga yang ia dapatkan, seorang gadis cantik diam-diam mengamatinya dari kejauhan. Gadis itu pikir ia menyukai Yanto.
Teknik Yanto mungkin masih mentah, tetapi naluri atletisnya tak terbantahkan. Gadis itu memperhatikan cara Yanto beradaptasi, belajar, dan mengoreksi gerakannya.
Si 'cewek' ini pun mendekatinya, hanya karena rasa ingin tahu. Terjadilah percakapan hangat di antara mereka.
Dari percakapan itu, gadis ini mengetahui bahwa Yanto bukanlah orang kaya, tidak memiliki koneksi, hanya seseorang yang disiplin dan mencintai gerakan.
Seminggu kemudian, gadis itu kembali main padel di lapangan cafe Padel tempat Yanto bekerja. Dari balik meja barista, Yanto tersenyum melihat gadis itu.
Si gadis melambaikan tangan dengan senyuman manis kepada Yanto. Tapi sayang Yanto tidak bermain padel sebab memang perlu uang ekstra baginya, untuk bisa di bermain lapangan itu.
Pekan berikutnya dan berikutnya, Yanto dan gadis itu sudah mulai cukup akrab ketika bertemu di cafe.
Yanto yang cukup memiliki kepercayaan diri tinggi dan skill komunikasi yang baik, membuatnya tetap bisa akrab dengan gadis itu dan teman-temannya, namun tidak pula bersikap sebagai bagian dari mereka, sebab Yanto tahu diri atas status sosialnya.
Seperti yang dia jaga selama bekerja di situ, "Bukan ingin jadi bagian dari orang-orang itu namun hanya ingin merasakan main padel".
Bulan berikutnya Yanto berkesempatan lagi bermain sejam bersama pelatih. Seperti biasa, permainannya impresif seperti dua atlit professional beradu tanding.
Si gadis dan teman-temannya mulai notice kehebatan Yanto yang memiliki paras tampan dan tubuh ideal-atletis itu.
Gadis itu, terkesan dengan konsistensi Yanto dan mengundangnya untuk bergabung dalam sesi main bersama kawan-kawannya.
Dia ingin Yanto main bersama —bukan sebagai instruktur sewaan, melainkan sebagai rekan tanding yang mendorongnya untuk berkembang.
Begitulah akhirnya hingga si gadis kini sudah menjadi pemain padel yang cukup piawai. Sedangkan Yanto, tetap pada aktivitasnya sebagai pegawai cafe di stadion padel itu hingga nasib kelak membawanya menjadi lebih baik.










0 Comments