Tidak cuma di darat, upaya pengurangan kadar karbondioksida juga dilakukan di laut.
Adalah Hasan (bukan nama asli), seorang nelayan di Kawasan Bulukumba, Sulawesi Selatan, menyaksikan hasil tangkapan hariannya menyusut, seiring menghangatnya air laut dan meningkatnya lalu lintas pelayaran.
Ia tak hanya mengkhawatirkan mata pencahariannya, tetapi juga kenaikan harga bahan bakar untuk perahu kecilnya.
Dan rupanya, di seluruh Nusantara, ribuan pekerja di pelabuhan dan perusahaan pelayaran memiliki kekhawatiran serupa dengan Hasan, yaitu kuatir kondisi air laut tidak lagi bersahabat untuk mata pencarian mereka.
Kekuatiran mereka, menunjukkan bahwa dekarbonisasi maritim bukanlah kebijakan abstrak. Tapi kebijakan yang secara langsung membentuk kehidupan keluarga besar masyarakat kelautan di Indonesia.
Ini penting diperhatikan dengan amat sangat.
Ingat! Indonesia adalah negara kepulauan terbesar di dunia, dengan lebih dari 17.000 pulau yang terhubung oleh kapal dan pelabuhan.
Namun, aktivitas pelayaran juga rupanya mendorong peningkatan emisi.
Sebagai mitra dagang global, tuntutannya ialah adanya logistik yang lebih ramah lingkungan.
Nah, Indonesia berisiko kehilangan daya saing jika tidak segera bertindak.
Dekarbonisasi maritim (maritime decarbonization) bukan hanya tentang iklim, melainkan tentang menjaga perdagangan nasional, melindungi masyarakat pesisir, dan menjamin masa depan yang berkelanjutan bagi generasi mendatang.
Maka dalam waktu dekat, demi masa depan lingkungan laut, Indonesia memerlukan kebijakan yang sangat kuat.
Kebijakakan dari sisi jalur perdagangan laut yang wajib rendah karbon, serta dari sisi sumber daya manusia kelautan yang terampil bekerja di bawah kepatuhan konsep lingkungan lestari.
Maka akan terwujud perlidungan terhadap jutaan ekosistem laut yang menjadi tumpuan bisnis perikanan dan pariwisata.
Tantangan
Memang tidak sedikit yang harus dipersiapkan untuk mweujudkan cita-cita dekarboinisasi di laut.
Perlu adanya peremajaan kapal yang sudah terlalu boros konsumsi bahan bakar dan tinggi polusi.
Perlu fasilitas pelabuhan yang menggunakan energi terbarukan, serta SDM yang bisa memahami pentingnya kelestarian lingkungan.
Semua hal di atas tentunya harus didukung bauran kebijakan dari kementerian terkait, seperti Kementerian Perhubungan, Kementerian Energi, Maritim dan Investasi, serta lembaga riset nasional, bahkan BUMN.
Untuk mempertajam efektivitas kebijakan, maka keterlibatan akademisi dari berbagai perguruan tinggi juga menjadi hal wajib.
Misalnya ITB, ITS Surabaya, dan IPB, yang berkontribusi melalui inovasi desain kapal, sistem energi terbarukan, dan UI juga bisa dilibatkan untuk perihal studi kebijakan.
Maka keberhasilan upaya dekarbonisasi maritim ini akan segera tampak, setidaknya di tahun 2030 mendatang.
Di mana emisi nasional telah turun drastis dan kebijakan untuk sektor kelautan dan maritim sudah sejalan dengan target IMO (organisasi maritim dunia).
0 Comments